Biodiesel merupakan bahan bakar yang terdiri dari campuran mono alkyl ester dari rantai panjang asam lemak, yang dipakai sebagai alternatif bagi bahan bakar dari mesin diesel dan terbuat dari sumber terbaharui seperti minyak sayur atau lemak hewan.
Biodiesel adalah senyawa ester metil yang dapat digunakan sebagai bahan bakar mesin diesel. Biodiesel dapat dibuat dari bahan baku yang berasal dari sumber daya hayati, yaitu minyak nabati atau lemak hewan. Di dalam skenario pengembangan industri biodiesel di Indonesia, minyak nabati diharapkan dapat diproduksi sendiri oleh petani dalam skala kecil dengan menggunakan teknologi yang relatif sederhana. Minyak nabati hasil produksi rakyat tersebut diperkirakan masih memiliki kandungan asam lemak bebas cukup tinggi (hingga mencapai 20%) tetapi bisa disyaratkan tidak mengandung air (kering). Dengan demikian, tujuan utama dari penelitian ini adalah mendapatkan rute proses produksi biodiesel terbaik yang mampu mengolah rninyak nabati dari rakyat yang masih memiliki kandungan asam lemak bebas tinggi.
Reaksi-Reaksi Pembuatan Biodiesel
Produksi biodiesel dari tumbuhan yang umum dilaksanakan yaitu melalui proses yang disebut dengan transesterifikasi. Transesterifikasi yaitu proses kimiawi yang mempertukarkan grup alkoksi pada senyawa ester dengan alkohol. Untuk mempercepat reaksi ini diperlukan bantuan katalisator berupa asam atau basa. Asam mengkatalisis reaksi dengan mendonorkan proton yang dimilikinya kepada grup alkoksi sehingga lebih reaktif.
Pada tanaman penghasil minyak, cukup banyak terkandung asam lemak. Secara kimiawi, asam lemak ini merupakan senyawa gliserida. Pada proses transesterifikasi senyawa gliserida ini dipecah menjadi monomer senyawa ester dan gliserol, dengan penambahan alkohol dalam jumlah yang banyak dan bantuan katalisator. Senyawa ester, pada tingkat (grade) tertentu inilah yang menjadi biodiesel. Dalam proses transesterifikasi untuk produksi biodiesel dari tumbuhan, biasanya digunakan asam sulfat (H SO ) sebagai katalisator reaksi kimianya.
Sebuah proses dari transesterifikasi lipid digunakan untuk mengubah minyak dasar menjadi ester yang diinginkan dan membuang asam lemak bebas. Setelah melewati proses ini, tidak seperti minyak sayur langsung, biodiesel memiliki sifat pembakaran yang mirip dengan diesel (solar) dari minyak bumi, dan dapat menggantikannya dalam banyak kasus. Namun, dia lebih sering digunakan sebagai penambah untuk diesel petroleum, meningkatkan bahan bakar diesel petrol murni ultra rendah belerang yang rendah pelumas.
Penggunaan dan produksi biodiesel meningkat dengan cepat, terutama di Eropa, Amerika Serikat, dan Asia, meskipun dalam pasar masih sebagian kecil saja dari penjualan bahan bakar. Pertumbuhan SPBU membuat semakin banyaknya penyediaan biodiesel kepada konsumen dan juga pertumbuhan kendaraan yang menggunakan biodiesel sebagai bahan bakar.
Refined fatty oil yang memiliki kadar asam lemak bebas (free fatty oil) rendah, sekitar 2% bisa langsung diproses dengan metode transesterifikasi menggunakan katalis alkalin untuk menghasilkan metil ester dan gliserol. Namun bila kadar asam minyak tersebut masih tinggi, maka sebelumnya perlu dilakukan proses praesterifikasi terhadap minyak tersebut. Kandungan air dalam minyak tumbuhan juga harus diperiksa sebelum dilakukan proses transesterifikasi.
Esterifikasi dua tahap
Transesterifikasi merupakan metode yang saat ini paling umum digunakan untuk memproduksi biodiesel dari refined fatty oil. Metode ini bisa menghasilkan biodiesel (FAME) hingga 98% dari bahan baku minyak tumbuhan. Bila bahan baku yang digunakan adalah minyak mentah yang mengandung kadar asam lemak bebas (free fatty acid – FFA) tinggi (yakni lebih dari 2%), maka perlu dilakukan proses praesterifikasi untuk menurunkan kadar asam lemak bebas hingga sekitar 2%. melakukan dua tahap esterifikasi untuk memproses minyak biji karet mentah (unrefined rubber seed oil) menjadi biodiesel.
Kedua proses tersebut adalah :
1. Esterifikasi asam
Ini merupakan proses pendahuluan menggunakan katalis asam untuk menurunkan kadar asam lemak bebas hingga sekitar 2%. Asam sulfat (sulphuric acid) 0.5 wt% dan alkohol (umumnya methanol) dengan molar rasio antara alkohol dan bahan baku minyak sebesar 6:1 terbukti memberikan hasil konversi yang baik.
2. Esterifikasi alkalin
Selanjutnya dilakukan proses transesterifikasi terhadap produk tahap pertama di atas menggunakan katalis alkalin. Sodium hidroksida 0.5 wt% dan alkohol (umumnya methanol) dengan rasio molar antara alkohol dan produk tahap pertama sebesar 9:1 digunakan dalam proses transesterifikasi ini.
Kedua proses esterifikasi di atas dilakukan pada temperatur 40 – 50 C. Esterifikasi dilakukan di dalam wadah berpengaduk magnetik dengan kecepatan konstan. Keberadaan pengaduk ini penting untuk memastikan terjadinya reaksi di seluruh bagian reaktor. Produk esterifikasi alkalin akan berupa metil ester di bagian atas dan gliserol di bagian bawah (akibat perbedaan densitas). Setelah dipisahkan dari gliserol, metil ester tersebut selanjutnya dicuci dengan air distilat panas (10 vol%). Karena memiliki densitas yang lebih tinggi dibandingkan metil ester, air pencuci ini juga akan terpisahkan dari metil ester dan menempati bagian bawah reaktor. Metil ester yang telah dimurnikan ini selanjutnya bisa digunakan sebagai bahan bakar mesin diesel.
Selain untuk menurunkan kadar asam, pada proses praesterifikasi juga perlu dilakukan pengurangan kadar air. Pada prinsipnya, pengurangan kadar air bisa dilakukan dengan dua cara, separasi gravitasi atau separasi distilasi. Separasi gravitasi mengandalkan perbedaan densitas antara minyak dengan air: air yang lebih berat akan berposisi di bagian bawah untuk selanjutnya dapat dipisahkan. Sedangkan separasi distilasi mengandalkan titik didih air sekitar 100 C dan pada beberapa kasus digunakan pula tekanan rendah untuk memaksa air keluar dan terpisah dari minyak.
Penggunakan proses katalis-asam dua tahap untuk menghasilkan biodiesel dari minyak dedak/bekatul beras (rice bran oil) yang memiliki kadar asam tinggi. Proses tahap pertama dilakukan pada temperatur 60 C dan tekanan atmosfer. Rasio molar antara methanol dan asam lemak bebas (FFA) diset pada 5:1. Temperatur di dalam wadah/reaktor dijaga dengan cara mencelupkannya ke dalam fluida (oil) dengan temperatur tertentu (oil bath with temperature controller). Pengaduk magnetik digunakan untuk memastikan terjadinya reaksi kimia di seluruh bagian wadah. Asam sulfat (sulphuric acid) 2 wt% dicampurkan terlebih dahulu dengan methanol untuk selanjutnya dimasukkan ke dalam wadah/reaktor. Setelah 2 jam, proses dihentikan dan campuran di dalam reaktor didinginkan hingga mencapai temperatur ruang. Produk dipisahkan dan dibersihkan menggunakan air. Fasa organik kemudian dipisahkan dari air dan dikeringkan dengan teknik tekanan rendah (vakum).
Produk akhir tahap pertama ini kemudian diproses lagi menggunakan katalis asam yang sama, asam sulfat, dengan konsentrasi asam sulfat 2 wt% dan rasio molar antara methanol dan minyak sebesar 9:1. Reaksi dilakukan dalam wadah tertutup pada temperatur 100oC dan kecepatan pengaduk sebesar 300 rpm (putaran per menit). Sekitar 96% metil ester bisa dihasilkan menggunakan proses katalis-asam dua tahap ini setelah 8 jam menggunakan minyak dedak/bekatul beras yang semula memiliki kadar asam lemak bebas (FFA) sebesar 76%.
Transesterifikasi
Bila bahan baku minyak yang digunakan merupakan minyak yang telah diproses (refined fatty oil) dengan kadar air dan asam lemak bebas yang rendah, maka proses esterifikasi dengan katalis alkalin bisa langsung dilakukan terhadap minyak tersebut.
Transesterifikasi pada dasarnya terdiri atas 4 tahapan, yakni:
1. Pencampuran katalis alkalin (umumnya sodium hidroksida atau potassium hidroksida) dengan alkohol (umumnya methanol). Konsentrasi alkalin yang digunakan bervariasi antara 0.5 – 1 wt% terhadap massa minyak. Sedangkan alkohol diset pada rasio molar antara alkohol terhadap minyak sebesar 9:1.
2. Pencampuran alkohol + alkalin dengan minyak di dalam wadah yang dijaga pada temperatur tertentu (sekitar 40 – 60 C) dan dilengkapi dengan pengaduk (baik magnetik ataupun motor elektrik) dengan kecepatan konstan (umumnya pada 600 rpm – putaran per-menit). Keberadaan pengaduk sangat penting untuk memastikan terjadinya reaksi methanolisis secara menyeluruh di dalam campuran. Reaksi methanolisis ini dilakukan sekitar 1 – 2 jam.
3. Setelah reaksi methanolisis berhenti, campuran didiamkan dan perbedaan densitas senyawa di dalam campuran akan mengakibatkan separasi antara metil ester dan gliserol. Metil ester dipisahkan dari gliserol dengan teknik separasi gravitasi.
4. Metil ester yang notabene biodiesel tersebut kemudian dibersihkan menggunakan air distilat untuk memisahkan zat-zat pengotor seperti methanol, sisa katalis alkalin, gliserol, dan sabun-sabun (soaps). Lebih tingginya densitas air dibandingkan dengan metil ester menyebabkan prinsip separasi gravitasi berlaku: air berposisi di bagian bawah sedangkan metil ester di bagian atas.
Katalis biologis (biocatalyst)
Beberapa kritik yang ditujukan terhadap proses transesterifikasi kimiawi adalah tingginya konsumsi energi proses serta masih terikutnya senyawa-senyawa pengotor dalam metil ester, seperti (mono, di] gliserida, gliserol, air, dan katalis alkalin yang dipergunakan. Pemurnian metil ester terhadap senyawa-senyawa pengotor tersebut memerlukan tambahan energi dan material dalam proses transesterifikasi minyak menjadi biodiesel.
mengajukan teknik katalisasi biologis (biocatalysis) untuk memproduksi biodiesel, oleic acid alkyl ester (dalam hal ini butil oleat), dari triolein menggunakan beberapa macam katalis biologis, yakni Candida Antarctica B, Rizhomucor Miehei, dan Pseudomonas Cepacia. Karena mahalnya harga katalis biologis dibandingkan katalis kimiawi, maka penggunaan katalis biologis tersebut dilakukan dengan cara immobilisasi pada katalis. Teknik ini sekaligus memungkinkan dilakukannya proses kontinyu dalam produksi biodiesel. Dari hasil pengujian yang dilakukan, ditemukan bahwa Pseudomonas Cepacia merupakan katalis biologis yang paling baik dalam menghasilkan 100% butil oleat (oleic acid ethyl ester) dalam waktu 6 jam. Temperatur optimum reaksi ini adalah 40 C.
Juga menggunakan jalur katalis biologis untuk memproduksi biodiesel dari minyak tumbuhan. Mereka membuat katalis padat (solid catalyst) dari gula dengan cara melakukan pirolisis terhadap senyawa gula (D-glucose dan sucrose) pada temperatur di atas 300 C. Proses ini menyebabkan karbonisasi tak sempurna terhadap senyawa gula dan terbentuknya lembar-lembar karbon aromatik polisiklis (polycyclic aromatic carbon sheets). Asam sulfat (sulphuric acid) kemudian digunakan untuk mensulfonasi cincin aromatik tersebut sehingga menghasilkan katalis. Katalis padat yang dihasilkan dengan cara ini disebutkan memiliki kemampuan mengkonversi minyak tumbuhan menjadi biodiesel lebih tinggi dibandingkan katalis asam sulfat cair ataupun katalis asam padat lain yang telah ada sebelumnya.
Transesterifikasi tanpa katalis
Proses transesterifikasi pada minyak kedelai (soybean oil) menggunakan methanol superkritik dan co-solvent CO . Tidak adanya katalis pada proses ini memberikan keuntungan tidak diperlukannya proses purifikasi metil ester terhadap katalis yang biasanya terikut pada produk proses transesterifikasi konvensional menggunakan katalis asam/basa. melakukan perbaikan pada proses transesterifikasi menggunakan methanol superkritik dengan menambahkan co-solvent CO yang berfungsi untuk menurunkan tekanan dan temperatur operasi proses transesterifikasi. Hal ini berkorelasi langsung pada lebih rendahnya energi yang diperlukan dalam proses transesterifikasi menggunakan methanol superkritik. Namun demikian, temperatur yang terlibat dalam proses yang dilakukan masih cukup tinggi, yakni sekitar 280 C.
Selain proses transesterifikasi, dalam produksi biodiesel juga melalui tahapan : pengempaan jaringan tanaman (misalnya biji) menghasilkan minyak mentah ; pemisahan (separator) fase ester dan gliserin ; serta pemurnian / pencucian senyawa ester untuk menghasilkan grade bahan bakar (biodiesel).
Potensi Biodiesel Indonesia
Pemenuhan sumber energi dalam bentuk cair terutama solar pada sector paling kritis dan perlu mendapat perhatian khusus. Dengan meningkatnya konsumsi solar dalam negri, berarti impor dari luar negri adalah hal yang tidak bisa ditunda lagi, jika tidak maka kekurangan pasokan tidak dapat dihindari, pada saat ini, kurang lebih 25% kebutuhan solar dalam negri telah menjadi bagian yang diimpor yang artinya adalah pengurangan devisa negara. Oleh karena itu, sudah saatnya dipikirkan untuk dapat disubstitusi dengan bahan baker alternative lainnya terutama bahan bakar yang berkesinambungan terus pengadaannya (renewable) dalam upaya meningkatkan security of supply dan mengurangi kuantitas impor bahan baku tersebut.
Biodiesel merupakan bahan bakar alternative dari bahan mentah terbaharukan (renewable) selain bahan bakar diesel dari minyak bumi. Biodiesel tersusun dari berbagai macam ester asam lemak yang dapat diproduksi dari minyak – minyak tumbuhan seperti minyak sawit (palm oil), minyak kelapa, minyak jarak pagar, minyak biji kapok randu, dan masih adal lebih dari 30 macam tumbuhan Indonesia yang berpotensial untuk dijadikan sebagai sumber energi bentuk cair ini.
Biodiesel bisa digunakan dengan mudah karena dapat bercampur deengan segala komposisi dengan minyak solar, mempunyai sifat – sifat fisik yang mirip dengan solar biasa sehingga dapat diaplikasikan langsung untuk mesin – mesin diesel yang ada hampir tanpa modifikasi, dapat terdegrasi dengan mudah (biodegradable), 10 kali tidak beracun dibanding minyak solar biasa, memiliki angka setana yang lebih baik dari minyak solar biasa, asap buangan biodiesel tidak hitam, tidak mengandung sulfur serta senyawa aromatic sehingga emisi pembakaran yang dihasilkan ramah lingkungan serta tidak menambah akumulasi gas karbondioksida di atmosfer sehingga lebih jauh lagi mengurangi efek pemanasan global ataubanyak disebut dengan zero CO emission.
Sebagai contoh, di dunia telah ada lebih dari 85 pabrik biodiesel dengan kapasitas 500 – 120.000 ton/tahun dan pada 7 tahun terakhir ini 28 negara telah menguji coba, 21 diantaranya kemudian memproduksi. Amerika dan beberapa negara Eropa telah menetapkan standar biodiesel.